Metz Muntsani

"Kesunyian adalah teman sejati"

Sesenja…

Posted by metzz pada Juli 20, 2009

Pulau yang panas, kulitku berkerak keringat garam. Mungkin butuh adaptasi. Mungkin juga karena tubuhku tak suka dengan hal yang panas-panas. Di ruangan persegi panjang, konon aula persidangan, kursi-kursi berjejer sejajar seperti militer yang lagi berbaris untuk berangkat perang. Dan aku, berada di bagian tengah. Di depan, mereka gagah melontarkan idealisme suatu gerakan yang akan kami perjuangkan. Serupa harimau yang berancang-ancang menyantap daging sapi yang sedang melintas di wilayahnya. Oh..aku mengerti, mereka kelaparan dan tampil sebagai pahlawan.

Beberapa menit kemudian, di barisan bagian depan kanan, ada yang mengangkat senjatanya. Lalu ia berteriak sekeras mungkin. “Jangan terlalu lama, kami sudah tidak tahan untuk memulainya”. Mereka yang di depan hanya menganggukkan kepala. Di barisan depan kiri tiba-tiba berdiri, dadanya kekar dan membusung, dan ia juga tak mau kalah. “Sekarang sudah waktunya, jangan ditunda-tunda lagi”.

Di sebelahku, tepat bersebelahan denganku, berbisik pelan memberitahukan dua orang utusan daerah yang berteriak keras tadi. Katanya, yang sebelah kanan itu dari Palu, dan yang sebelah kiri dari Riau. Mereka pemberani dan siap melakukan apapun. Dan dia sendiri dari Sulawesi.
Dari belakang tiba-tiba ada yang membanting kursi, mungkin karena ia tidak bisa berteriak sekeras yang di sebelah kanan depan dan sebelah kiri depan. Ia hanya berkata beberapa kata. Sekejap ruangan menjadi sunyi mencekap. Suasana semakin memanas. Sebab, ia tidak yakin dengan apa yang diperjuangkan merupakan sesuatu yang benar. Ia berdalih bahwa yang akan diperangi saudaranya sendiri yang tersesat untuk pulang.

Lalu saudara-saudara dari Palu tidak terima, termasuk Riau. Mereka seakan pahlawan tanpa tanding. Ruangan semakin membara. Setiap utusan dari daerah-daerah mulai berapi-api.

“Siapa kau, tiba-tiba bilang mereka adalah saudara kita”.

“Kami dari Lampung, tuan rumah angkatan I ini”.

“Penghianat!”

“Tidak, kalian yang mulai buta sehingga membuta”.

Di barisan depan mencoba menenangkan suasana. Menjelaskan bahwa semuanya benar. Apa yang akan kita perangi adalah saudara kita sendiri dan tidak mau pulang. Kalau mereka tidak kita bunuh, mereka yang akan membunuh kita. Dan di barisan depan begitu pandai merajut seluruh elemen sehingga ruangan menjadi tenang dalam kemarahan.

Barisan depan kemudian berseru, seperti mengabsen; “di mana saudara dari Jawa, Banten, Bandung, Cirebon, Jogjakarta, Solo, Surabaya, Malang dan sebagainya?”. Dan di barisan tengah serta sebagian barisan belakang berdiri sambil berkata; “kami di sini”.

“Kita akan memulai”.

“Tunggu!” dari Aceh menyumbang teriakan.

“Ada apa?”

“Kami masih sedikit ragu”

“Apa yang diragukan oleh anda”

“Kami ragu terhadap kalian”

“Jangan hawatir kami akan selalu bersama kalian, ikut membasmi musuh-musuh kita”.

“Benarkah?” dari Jogjakarta mulai bersuara.

“Kami akan menciptakan pahlawan-pahlawan di negeri ini”

Dan tanpa dihiraukan kegaduhan dalam ruangan, barisan depan langsung mengetuk palu. Mereka seakan tidak mau digugah. Mereka hanya mau menggugah. Dan semuanya mengikuti begitu saja.

Di sini, utusan dari Jawa dan sebagian daerah luar Jawa mulai semakin ragu. Mereka berbisik-bisik, mempertanyakan apa sebenarnya yang kita perjuangkan. Idealisme semacam apa dan untuk siapa. Lebih dari separuh dari peserta yang ada semakin ragu dan bertanya-tanya…

Bandung, 2009

Tinggalkan komentar