Metz Muntsani

"Kesunyian adalah teman sejati"

Hatiku Merindu

Posted by metzz pada Juli 20, 2009

Hatiku merindukan hari-hari dan malam bersamamu. Seperti dulu. Barangkali sebatas rindu, karena aku tak mungkin kembalikan waktu. (emangnya Herry Potter…

***

Aku orang seberang, yang bertekat mengenyam pendidikan di kota kembang. Ibuku membekali sebingkis doa. Dan itu sudah cukup untukku. Air mata yang berlinang dari kelopak mata seorang ibu, adalah kasih sayang yang tak terkira. Dalam peluknya, awal keberangkatanku, ia berbisik serak; “aku tak bisa memberikan apapun anakku, aku hanya berdoa untukmu. Jagalah dirimu baik-baik…. dan niatkan dengan baik”. Dalam langkahku aku tak berani menoleh. Karena ini adalah pilihanku sendiri. Dalam hasrat, adalah merapih harap merubah jejak.

Di sini, di kota Sunda, ada perjumpaan yang menggetar di hati. Antara aku dan seorang perempuan. Seakan menjalin ikatan akar dan tanah. Mula-mula, aku menatapnya dalam degup yang berbeda. Ia begitu sempurna, wajahnya terlihat paras Pakistan. Kulitnya sebagaimana umumnya perempuan negeri ini, kuning langsap. Dan matanya, cukup tajam seperti kaum indian. Tapi tidak semudah kaum muda masa kini dalam menyatakan cinta. Aku masih ragu apakah aku benar-benar tertarik padanya. Benar-benar jatuh hati terhadap kesempurnaannya.

Dalam lirik matanya yang sendu dan tajam, ia seakan menyampaikan kata sapa. Dan aku menerimanya dengan cepat sebelum ia berpaling. Senyumnya tiba-tiba menggoncangkan getar di hati, sampai aku tak mampu mengungkap sepatah kata. Dan perjumpaan selanjutnya, getar di hati semakin kencang dan mulai tak tertahankan. Baru aku yakin, aku jatuh hati padanya. Karena ini pula, aku tidak mampu mengungkap getar itu dengan kata di hadapannya. Dan aku yakin, ia mengerti apa yang aku sembunyikan.

Di balik bidik pintu kamar aku selalu mengintipnya. Tempat tinggalnya bersebelah dengan tempatku tinggal. Kita sama-sama mengontrak, sama-sama anak kost. Aku belum mengenal ia seutuhnya. Tapi getar ini telah tak mampu kukendalikan. Pada suatu ketika, ia baru datang dari perjalanan, entah dari mana, mungkin pulang kuliah mungkin juga bermaen. Aku tak mampu menatapnya, rona wajahnya mengagumkan.

“mas, punya bolpoint?” sapanya mengejutkanku. Aku tak menjawab. Tiba-tiba tanganku menyodorkan bolpoint.

“boleh aku pinjam?” sambil mengambil bolpoint yang aku sodorkan. Dan aku hanya mengangguk.

Di sini, aku rasakan kebahagian yang berlimpah. Entah kenapa. Pikirku, inilah permulaan sapa antara aku dan dia. Ia telah memikatku tanpa sebuah pikatan. Ia telah mengurungku tanpa sebuah kurung. Dan semalam itu aku tak henti terbayanginya, tak mampu pejamkan mata. Seakan malam itu adalah malam yang terindah. Dan aku tak mampu untuk tidak melewatinya. Dalam benak, besok ia akan menyapaku kembali.

***

Sejak itu, aku dan dia semakin dekat, semakin terbuka. Ada keterbukaan berarti ada kepercayaan. Sampai pada akhirnya, tidak perlu kata atau pernyataan untuk memastikan sebuah hubungan. Kami saling mengukuhkan diri, bahwa kami merupakan sepasang kekasih yang saling mencintai dan menyayangi. Aku sering kali membelai rambutnya, dan dia sering menciumi pipiku. Kemesrahan di antara kami adalah kemesrahan yang sangat ideal.

Inilah lautan kasih yang kami bangun. Dan atas dasar etika sosial, kami saling memperkenalkan diri kepada orang tua kami. Ia memperkenalkanku pada orang tuanya, aku pun begitu. Menyatukan dua keluarga yang berbeda dalam satu hasrat.

Pada suatu ketika, saat rindu sejelma kuda liar dalam hati, maka tak ada yang mampu menghentikannya. Tepat Jam 00.01 WIB, aku ingin sekali mendengar suaranya, walau hanya sekedar mengucapkan selamat malam. Waktu itu, aku tidak lagi tinggal bersebelahan dengannya, aku tinggal di sekretariat kampus. Padahal tadi siang aku bersamanya, bertemu dengannya, tapi rindu tak mengenal waktu. Aku mendatangi telpon koin yang ada di depan kampus, malam begitu sepi, dan aku menelpon ke telpon kostnya. Setelah dering ketujuh kalinya, ada yang mengangkat telponnya.

“hallo..” hatiku gemetar untuk menjawabnya.

“hallo… siapa ini?” setelah berkali-kali, aku menjawab dengan pelan.

“hallo… Elianya ada?”

“ini siapa? Udah malam ada perlu apa?”

“saya… saya temannya, penting banget, Elianya ada?”

“saya sendiri, ini siapa?” aku kaget, ternyata yang ngangkat ia sendiri.

“Elia… ni aku, Dani”

“mas, udah malam, tadi kan udah ketemu, ada apa?”

“kangen..”

“besok kan bisa. Mas belum tidur?”

“aku hanya ingin dengar suaramu, aku nggak bisa tidur. Kamu udah tidur?”

“aku juga nggak bisa tidur… aku sayang sama Mas”…

Di sini, aku sungguh yakin, kami saling memadu kasih. Rindu tak pernah membiarkan kami diam sejenak dalam waktu. Di antara kami ada rasa yang terus menggebu, menyatakan diri dalam suatu keyakinan yang sangat kokoh. Kami tak pernah bermaen-maen dengan perasaan, tapi kami tenggelam dalam lautannya. Kami tak melihat apapun, kecuali perasaan itu sendiri.

***

Namanya Eliawati, biasa kupanggil Elia. Dan kedua orang tuanya memanggilnya dengan sebutan Neng. Mungkin karena ia berdarah Sunda. Ia anak terakhir dari dua bersaudara. Kakaknya cukup garang, barangkali memang sangat menyayanginya sehingga membuat aturan yang begitu keras. Rumahnya terletak di kerawang perbatasan subang, dekat persembunyian Bung Karno saat dikejar-kejar oleh penjajah. Konon, sekarang di daerah itu, tepatnya dipinggiran pantai, telah menjadi sarang wanita malam yang siap saji. Sayang sekali, padahal itu adalah tempat bersejarah. Dan di negeri ini sudah tidak asing lagi ketika terdengar wanita malam berkeliaran. Bahkan disetiap daerah apalagi kota-kota besar, mereka menjamur dengan tanpa dipandang sebagai sampah masyarakat. Laki-laki belang semakin asyik bermain dengan nafsunya. Dan mereka lupa bagaimana negeri ini diperjuangkan. Sungguh sangat disayangkan, negeri yang diperjuangkan dengan darah suci para pejuang ternyata dilupakan begitu saja.

Kalau bicara tentang negeri ini, aku sedikit ngeri. Bayangkan saja, di setiap lapisan masyarakat selalu ada yang kelapara. Buktinya setiap ada pemberian bantuan, yang ngantri beribu-ribu orang sampai ada yang terluka, bahkan contoh kecil di Pasuruan ketika pemberian zakat, memakan korban dengan hilangnya nyawa seseorang. Kalau ditanya siapa yang salah, semuanya salah, semua pihak. Tapi bagiku setannya ada di gedung-gedung yang mewah dan pembisnis global yang hanya memperkaya dirinya sendiri dengan mengorbankan masyarakat bawah. Gedung-gedung mewah itu isinya hampir semua setan, yang selalu memeras keringat rakyat. Ngomong di depan rakyat dan press mereka memperjuangkan nasib rakyat, nyatanya negeri ini semakin menciptakan kemelaratan dan sampah masyarakat. Banyak anak-anak negeri ini yang putus sekolah, yang laki-laki menjadi penjahat jalanan dan yang wanita menjadi pemhibur malam. Walaupun tidak semuanya tapi mulai menyeluruh. Sangat disayangkan, negeri yang kayaraya, ternyata kekayaannya menjadi omong kosong. Sebab rakyat tetap melarat. Entahlah, mungkin saja sebab perekonomian kita selalu diatur orang asing…

Kini Elia adalah kekasihku. Setiap detak selalu kukukuhkan bahwa ia adalah kekasihku. Hari-hari telah kami isi dengan manja kasih sayang. Saling menjaga dan bermanja. Saling mengutuhkan. Saling menyusun janji dan rencana masa depan. Seakan hidup ini indah karena kita. Layaknya sepasang kekasih yang memadu kasih, dan tak ada lagi yang pantas kami ragukan.

Pada titik ini, antara aku dan dia setelah saling percaya, dia memperkenalkan aku pada orang tuanya dan aku juga memperkenalkan dia kepada orang tuaku. Walau orang tua kami belum bertemu secara resmi, kami yakin mereka setuju terhadap rencana kami. Kurang lebih waktu itu aku dan dia menjalin hubungan sudah dua tahun, dan satu tahun kedepan aku selesai sebagai sarjana, yang direncanakan sebagai waktu yang tepat untuk membangun keluarga.

***

Timoer Bandung, “08

Satu Tanggapan to “Hatiku Merindu”

  1. Mohammad Rifki said

    ah…………..terlalu romantif jangan2 nnti kepincut petis hahahahahaha……….

Tinggalkan komentar