Di Sekitar Evolusionisme
“Suatu agama merupakan agama yang kuat kalau dalam ritualnya dan dalam cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakan hati. Kebaktian kepada Tuhan bukan jalan untuk mencari rasa aman, melainkan suatu petualangan roh, suatu usaha untuk menggapai yang tak tergapai. Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan”
—Alfred North Whitehead, Science and Modern World—
“Sifat khas kebenaran agama-agama adalah bahwa kebenaran tersebut secara eksplisit berkaitan dengan nilai-nilai. Kebenaran itu menyadarkan kita akan aspek yang tetap dari alam semesta yang dapat kita pandang bernilai. Oleh kerenanya kebenaran tersebut memberi suatu makna, dalam arti nilai, pada eksistensi kita, suatu makna yang mengalir dari hakikat kenyataan sendiri”
—Alfred North Whitehead, Religion in the Making—
Cartesian-Newtonian: Peradaban Menuju Evolusionisme Dan Kematian Agama
Rasio Cartesian-Newtonian[1], sebagai corak yang khas bagi modernisme[2]—pada perkembangannya—menjadikan subjektivitas tunggal yang kuat, dan menjadi tulang punggung dalam perkembangan sains modern di Barat. Positivisme yang dikembangkan oleh August Comte memiliki beberapa ciri: a). Bebas Nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral; b). Fenomenalisme. Semesta fenomena yang kita persepsi. Pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu dibelakang fenomena ditolak mentah-mentah; c). Nominalisme. Positivisme befokus pada yang individual-partikular karena itu kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semesta penamaan dan bukan kenyataan itu sendiri; d). Reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi; e). Naturalisme. Faham tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan adikodrati; f). Mekanisme. Faham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin[3].
Positivisme adalah sebagai simbol dari epistem Cartesian-Newtonian yang “gagah”, pada akhirnya telah mereduksi kekayaan batin jadi seonggok ucapan yang tak lagi terperhatikan[4]. Sesuai dengan diktumnya yang terkenal “Savoir pour prevoir, prepoir pouvoir”, dari ilmu muncul prediksi, dari prediksi muncul aksi, menjungjung tinggi sekali kedudukan ilmu pengetahuan dan sangat optimis dengan peran yang dapat dimainkan bagi kesejahteraan manusia, kemajuan sains berimbas pada perlombaan mekanisasi realitas dan rekayasa sipil, sehingga tak terhindarkan persaingan senjata dan perangpun merengkuh dunia[5].
Dari keterpurukan ini, muncullah segugus gagasan untuk, yang pada awalnya Positivisme ingin menata kembali masyarakat dengan berasaskan teologi dan filsafat tertentu, kini restorasi itu dibalik, yakni masyarakat harus dibebaskan dari kungkungan teologi dan filsafat. Misi gagasan ini adalah administrasi masyarakat secara rasional harus dilandasi pada pengetahuan yang berkesatuan. Dan hanya bisa dicapai apabila dikembangkan suatu bahasa ilmiah yang berlaku pada semua bidang ilmu pengetahuan.
Maka gagasan ini kemudian disebut dengan Positivisme-logis. Yang menjadi perbedaan di antara madzhab ini dengan pendahulunya adalah konsentrasi pendahulunya pada bidang pengaturan sosial pada masyarakat secara ilmiah, dan adanya gerak evolutif dalam alam, sedang madzhab ini memfokuskan diri pada logika dan bahasa ilmiah. Baginya, filsafat harus menjadi hamba ilmu pengetahuan, dan tugas pokoknya adalah melakukan kajian tentang metodologi ilmu pengetahuan dan melakukan penjernihan konsep-konsep ilmiah[6].
Perjalanan problematika libido “metode ilmiah” tak pernah pudar dengan berbagai hujat fakta anomali. Sains, menggelinding bagai roda pedati—karena sains mengikuti rasio Cartesian-Newtonian di atas—meninggalkan religiusitas. Sains menjadi orang baru dari perkembangan zaman yang terpisah, terburai dari agama sebagai fakta anomali yang metafisik. Hal ini tampak dalam inkuisisi atas Galileo, di mana ia harus tunduk atas otoritas gereja, untuk meninggalkan ‘ajaran sesat’ heliosentrisme Copernikan yang bertentangan dengan Gereja, di mana Injil ditaruh di tangan kanannya.
“Survival of the fittest”, diktum yang nampak tak asing lagi bagi para penggiat sains dan filsafat, bahkan, bagi ‘pesoleh’ agar bisa preventif menghadang jalan bagi ‘kereta pikir via patas’ ala materialisme tersebut. Diktum yang keluar dari buku The Origin of Species karya Charles Darwin telah mengguncang ‘konstruk-nalar’ religi, yang pada umumnya percaya bahwa penciptaan berasal dari suatu desain mutlak Tuhan. Namun tidaklah demikian bagi Darwin. Baginya, seperti dikutip Ian G. Barbour, makhluk dalam penciptaan adalah hasil dari suatu proses seleksi alam yang panjang. Di bawah kondisi kompetitif, individu-indivdu dengan sejumlah keuntungan adaptif akan mampu bertahan hidup dengan lebih baik sehingga dapat melahirkan keturunan dan meneruskan keunggulan itu pada keturunannya. Menurut Barbour, teori Darwin, atau yang lebih dikenal dengan Teori Evolusi, tidak hanya menggerogoti versi dari argumen tradisional desain bahwa ciptaan berasal dari rancangan tertentu, Darwin juga menjelaskan sejarah alam dengan hukum-hukum alamiah yang nampaknya tidak memberi peluang bagi tuntunan penyelenggaraan Allah.[7]
Keith Ward mengatakan hal yang berbeda dengan Barbour. Menurutnya, Darwin sebenarnya tidak menemukan gagasan tentang evolusi, namun menjadi eksponen yang paling berpengaruh dengan gagasan ini, terutama yang berhubungan dengan evolusi kehidupan organis. Gagasan ini, lanjutnya, bagi banyak pakar biologi menyediakan kunci penjelasan tentang kompleksitas kehidupan binatang. Menurut Ward, pandangan kaum religi yang menolak karena teori Darwin bertentangan dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian adalah salah. Menurutnya, gagasan bahwa Tuhan menciptakan bentuk-bentuk kehidupan melalui proses evolusi gradual tidaklah lebih sulit ketimbang gagasan bahwa penciptaan terjadi dengan seketika! Baca entri selengkapnya »