Metz Muntsani

"Kesunyian adalah teman sejati"

Archive for Oktober, 2009

Filsafat Aristoteles

Posted by metzz pada Oktober 11, 2009

Universal-Partikular

Dalam pemikiran Plato, kita menemukan hasrat plato untuk meraih yang bersifat umum (Universal), yang tetap dan dapat dipikirkan. Plato tidak menerima pengetahuan yang dihasilkan oleh indera. Meski memang ia menganggap data dari indera juga penting. Bagi Plato, Apapun yang dicerap indera hanya berguna sepanjang ia menghasilkan Forma (Bentuk) yang bisa mengingatkan kita pada pola/cetakan di dunia ide. Inti dari pemikiran Plato adalah tidak begitu memperhatikan dunia benda-benda yang dapat diindera.

Aristoteles membelokkan kecenderungan gurunya (Plato) dan lebih mempertanyakan pada yang konkret. Bagi Aristoteles ‘yang nyata’ itu bukan bersifat umum, namun yang bersifat khusus (Partikular)[1]. Dalam bahasa lain, hidup ini bagaimana pun juga berada dan bercampur dengan yang khusus itu. Aristoteles memandang yang ‘ada’ adalah yang konkret. Yang dapat ditangkap alat indera. Adapun yang di luar benda-benda konkret, tidak bisa dianggap ada. Lalu bagaimana dengan pengertian umum? Tanggapan Aristoteles atas pertanyaan semacam itu hanya sebutan dan tidak mempunyai dunia sendiri (Menolak alam ide Plato). Lebih lanjut ia menegaskan bahwa pengertian umum justru terdapat di dalam benda konkret, di dalam yang partikular.

Partikular/yang khusus itu dikaitkan dengan istilah Substansi, yaitu benda yang ‘ada’ tanpa tergantung pada benda lain. Benda semacam ini bukan sekedar bentuk, ia bahkan gabungan antara bahan dan bentuk (Materi) dan Forma). Bagi Plato, apa yang dapat diindera adalah bahan dari benda-benda ilusi dan yang nyata adalah bentuk yang bisa ditangkap pikiran. Bagi Aristo bahan bukan cuma ilusi atau pelengkap yang mengiringi bentuk (Forma). Bahan justru memberi nilai khas bagi keberadaan satu benda dalam kenyataan.

Universal adalah suatu ciri yang bisa dipredikatkan pada banyak subyek. Sedangkan Substansi adalah sesuatu yang tak bisa dipredikatkan. Substansi merupakan sesuatu yang ‘ini’ (Konkret) dan Universal adalah jenis benda, bukan benda konkretnya. Yang Universal tidak bisa mandiri. Ia hanya bisa dikenali ketika bersama dan berada dalam benda-benda konkret[2]. Misalnya, kata ‘cinta’ tidak bisa dimengerti kalau tidak dikaitkan dengan benda-benda konkret seperti halnya kata ‘Manusia’ hanya bisa dimengerti jika dikaitkan dengan Tia Ivanka, Agnes Monica, Angel Karamoy, Happy Salma, Fitri Handayanie, Gogon, Kabul, Tukul, Ki Daus dan sebagainya. Baca entri selengkapnya »

Posted in Filsafat & Agama | Dengan kaitkata: , , , , , | 1 Comment »

Nalar Al-Kindi

Posted by metzz pada Oktober 11, 2009

Masuknya “Rasionalitas” Dalam Islam

Bagaimana “Rasionalitas” diterima dalam Islam ?. ketika kita mencoba menganalisis “tradisi Arab” sebelum Islam, dari sejarah, telah terlihat kebudayaan khas Arab yang memiliki daya nalar tersendiri. Setelah Islam masuk ada pembedaan yang dilakukan secara sadar terhadap “tradisi nalar” pra- Islam. Nalar Islam memiliki khas tersendiri, yaitu adanya pengakuan tuntunan wahyu terhadap kehidupan ini. tapi para pemikir muslim memperjuangkan “Rasionalitas”, bahwa manusia memiliki potensi yang mampu membimbing dirinya terlepas dari kontes Tuhan. Orang pertama kali yang memperjuangkan dan mempertahankan “Rasionalitas” adalah Al-kindi, yang dalam sejarah tercatat sebagai filosof Arab pertama. Dan juga Ia termasuk filosof pertama ada dalam “negara yang berorientasi pada akal” (daulah al-‘aql) dalam Islam, yang sejak itu negara menghadapi “ketersingkiran akal” seperti yang diusung oleh aliran syi’ah dan lainnya.

Al-kindi dalam memperjuangkan dan mempertahankan “Rasionalitas” yaitu memasukkan pemikiran atau filsafat Yunani ke dalam kebudayaan Arab Islam dengan menterjemahkan karya para filosof Yunani. Selain itu Ia menulis beberapa artekel atau catatan-catatan yang sekiranya mudah dibaca oleh orang Arab. Bahkan tidak hanya itu, proses pengukuhan “Rasionalitas” oleh Al-Kindi dalam kebudayaan Arab Islam, Ia mengikuti jejak yang ditinggalkan Aristoteles tentang akal dengan menjauhkan diri dari penjelasan-penjelasan neo-Platonis yang sedang mendominasi pada masa itu.

Maka kita tahu dari catatan sejarah dan karya para pemikir Islam terutama pemikir pertama (Al-Kindi) bahwa, pemikir-pemikir muslim atau kebudayaan nalar Arab Islam telah terkonstruk oleh “lendir-lendir” pemikiran Yunani. Kita tidak perlu enggan dan malu untuk mengakui kebaikan para pemikir atau filsafat Yunani, karena bagaimanapun juga berkat merekalah “Nalar Arab” berkembang dan menjadi filsafat yang mengagumkan. Sebagaimana yang diungkapkan Al-Kindi, “diantara kewajiban kita adalah bahwa kita tidak boleh menghina orang yang telah menjadi sebab kita memperoleh manfaat sekalipun kecil…”

Pada walanya, pemikiran-pemikiran muslim dimaksudkan untuk mempertahankan agama Islam,konsep ketuhanan, yang disebut dengan teologi. Tapi bagaimana kemudian teologi beralih ke filsafat ? untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mempertimbangkan secara kronologis para pemikir muslim dalam memperjuangkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani yang masih tabu di tengah orang Arab Islam. Al-kindi sebagai seorang filsuf muslim pertama menghadapi beberapa kesulitan untuk menyatakan dan memasukkan teori yang didapat dari pemikir Yunani ke dalam ide-ide abstrak Islam.

Dalam menghadapi kesulitan pertama, Ia berusaha untuk menanamkan kekuasaan pandangan pada pembacanya, bahwa kebenaran adalah kebenaran, tidak memandang dari mana datangnya, dan hal ini yang paling berharga. Al-Kindi mencoba ber”bahasa” sesuai bahasa pembaca agar diterimanya konsep dan ide-idenya untuk mempertahankan “Rasionalitas” di kalangan Arab. Mengenai kesulitan yang kedua, Al-Kindi berusaha dengan sebaik mungkin menyesuaikan bahasa Arab dengan kepentingan-kepentingan makna filosofis. Al-Kindi merupakan perintis jalan bagi pemikir Arab, tetapi belum cukup untuk mewadahi hasil konsep-konsep baru. Walaupun demikian Ia telah memberi sumbangsi yang besar bagi para pemikir Arab dengan adanya karya-karya filsafat Yunani yang telah diterjemahkan olehnya kedalam bahasa Arab. Dan Al-Kindi merupakan pembuka filsafat Islam.

Sumbangsi besar Al-kindi yang tidak bisa kita lupakan adalah banyaknya karya-karya filsafat Yunani yang telah diterjemah kedalam bahasa Arab, sehingga pembaca Arab merasa mudah untuk mengetahui filsafat yunani. Seperti halnya ilmu-ilmu yang berkembang di dunia Arab dan logika-logika nalar Arab telah dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani yang diterjemahkan Al-kindi. Maka pantas sebenarnya para pemikir muslim berterima kasih padanya atas mudahnya mereka untuk memperdalam kehebatan filsafat Yunani. Dan mereka memperdalami filsafat hanya sebagai senjata atau untuk mempertahankan agama Islam. Baca entri selengkapnya »

Posted in Filsafat & Agama | Dengan kaitkata: , , , , | Leave a Comment »

Kematian Agama

Posted by metzz pada Oktober 11, 2009

Di Sekitar Evolusionisme

“Suatu agama merupakan agama yang kuat kalau dalam ritualnya dan dalam cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakan hati. Kebaktian kepada Tuhan bukan jalan untuk mencari rasa aman, melainkan suatu petualangan roh, suatu usaha untuk menggapai yang tak tergapai. Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan”

—Alfred North Whitehead, Science and Modern World

“Sifat khas kebenaran agama-agama adalah bahwa kebenaran tersebut secara eksplisit berkaitan dengan nilai-nilai. Kebenaran itu menyadarkan kita akan aspek yang tetap dari alam semesta yang dapat kita pandang bernilai. Oleh kerenanya kebenaran tersebut memberi suatu makna, dalam arti nilai, pada eksistensi kita, suatu makna yang mengalir dari hakikat kenyataan sendiri”

—Alfred North Whitehead, Religion in the Making

Cartesian-Newtonian: Peradaban Menuju Evolusionisme Dan Kematian Agama

Rasio Cartesian-Newtonian[1], sebagai corak yang khas bagi modernisme[2]—pada perkembangannya—menjadikan subjektivitas tunggal yang kuat, dan menjadi tulang punggung dalam perkembangan sains modern di Barat. Positivisme yang dikembangkan oleh August Comte memiliki beberapa ciri: a). Bebas Nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral; b). Fenomenalisme. Semesta fenomena yang kita persepsi. Pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu dibelakang fenomena ditolak mentah-mentah; c). Nominalisme. Positivisme befokus pada yang individual-partikular karena itu kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semesta penamaan dan bukan kenyataan itu sendiri; d). Reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi; e). Naturalisme. Faham tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan adikodrati; f). Mekanisme. Faham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin[3].

Positivisme adalah sebagai simbol dari epistem Cartesian-Newtonian yang “gagah”, pada akhirnya telah mereduksi kekayaan batin jadi seonggok ucapan yang tak lagi terperhatikan[4]. Sesuai dengan diktumnya yang terkenal “Savoir pour prevoir, prepoir pouvoir”, dari ilmu muncul prediksi, dari prediksi muncul aksi, menjungjung tinggi sekali kedudukan ilmu pengetahuan dan sangat optimis dengan peran yang dapat dimainkan bagi kesejahteraan manusia, kemajuan sains berimbas pada perlombaan mekanisasi realitas dan rekayasa sipil, sehingga tak terhindarkan persaingan senjata dan perangpun merengkuh dunia[5].

Dari keterpurukan ini, muncullah segugus gagasan untuk, yang pada awalnya Positivisme ingin menata kembali masyarakat dengan berasaskan teologi dan filsafat tertentu, kini restorasi itu dibalik, yakni masyarakat harus dibebaskan dari kungkungan teologi dan filsafat. Misi gagasan ini adalah administrasi masyarakat secara rasional harus dilandasi pada pengetahuan yang berkesatuan. Dan hanya bisa dicapai apabila dikembangkan suatu bahasa ilmiah yang berlaku pada semua bidang ilmu pengetahuan.

Maka gagasan ini kemudian disebut dengan Positivisme-logis. Yang menjadi perbedaan di antara madzhab ini dengan pendahulunya adalah konsentrasi pendahulunya pada bidang pengaturan sosial pada masyarakat secara ilmiah, dan adanya gerak evolutif dalam alam, sedang madzhab ini memfokuskan diri pada logika dan bahasa ilmiah. Baginya, filsafat harus menjadi hamba ilmu pengetahuan, dan tugas pokoknya adalah melakukan kajian tentang metodologi ilmu pengetahuan dan melakukan penjernihan konsep-konsep ilmiah[6].

Perjalanan problematika libido “metode ilmiah” tak pernah pudar dengan berbagai hujat fakta anomali. Sains, menggelinding bagai roda pedati—karena sains mengikuti rasio Cartesian-Newtonian di atas—meninggalkan religiusitas. Sains menjadi orang baru dari perkembangan zaman yang terpisah, terburai dari agama sebagai fakta anomali yang metafisik. Hal ini tampak dalam inkuisisi atas Galileo, di mana ia harus tunduk atas otoritas gereja, untuk meninggalkan ‘ajaran sesat’ heliosentrisme Copernikan yang bertentangan dengan Gereja, di mana Injil ditaruh di tangan kanannya.

“Survival of the fittest”, diktum yang nampak tak asing lagi bagi para penggiat sains dan filsafat, bahkan, bagi ‘pesoleh’ agar bisa preventif menghadang jalan bagi ‘kereta pikir via patas’ ala materialisme tersebut. Diktum yang keluar dari buku The Origin of Species karya Charles Darwin telah mengguncang ‘konstruk-nalar’ religi, yang pada umumnya percaya bahwa penciptaan berasal dari suatu desain mutlak Tuhan. Namun tidaklah demikian bagi Darwin. Baginya, seperti dikutip Ian G. Barbour, makhluk dalam penciptaan adalah hasil dari suatu proses seleksi alam yang panjang. Di bawah kondisi kompetitif, individu-indivdu dengan sejumlah keuntungan adaptif akan mampu bertahan hidup dengan lebih baik sehingga dapat melahirkan keturunan dan meneruskan keunggulan itu pada keturunannya. Menurut Barbour, teori Darwin, atau yang lebih dikenal dengan Teori Evolusi, tidak hanya menggerogoti versi dari argumen tradisional desain bahwa ciptaan berasal dari rancangan tertentu, Darwin juga menjelaskan sejarah alam dengan hukum-hukum alamiah yang nampaknya tidak memberi peluang bagi tuntunan penyelenggaraan Allah.[7]

Keith Ward mengatakan hal yang berbeda dengan Barbour. Menurutnya, Darwin sebenarnya tidak menemukan gagasan tentang evolusi, namun menjadi eksponen yang paling berpengaruh dengan gagasan ini, terutama yang berhubungan dengan evolusi kehidupan organis. Gagasan ini, lanjutnya, bagi banyak pakar biologi menyediakan kunci penjelasan tentang kompleksitas kehidupan binatang. Menurut Ward, pandangan kaum religi yang menolak karena teori Darwin bertentangan dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian adalah salah. Menurutnya, gagasan bahwa Tuhan menciptakan bentuk-bentuk kehidupan melalui proses evolusi gradual tidaklah lebih sulit ketimbang gagasan bahwa penciptaan terjadi dengan seketika! Baca entri selengkapnya »

Posted in Filsafat & Agama | Dengan kaitkata: , , , | Leave a Comment »

Seusap Rindu

Posted by metzz pada Oktober 4, 2009

Seusap rindu, elia!
Masih bertengger mesra di pecahan nafasku
Merangkai kenangan di pepucuk bunga
Lalu besok akan dicumbu senja
Dan menjadi buah sehabis menatap purnama

Bila pagi bertutur tentang biru lautmu
Rindu itu serupa syair Iqbal
Yang menggemuruh di jantung hatiku
Dan mengkilat di ujung celuritku

Sekedar seusap rindu, elia!
Aku harus pulang…

Sumenep, 28 Ramadlan 1430 H

Posted in Puisi | Dengan kaitkata: , | Leave a Comment »

Puasa, jalan damai Bersama

Posted by metzz pada Oktober 4, 2009

Puasa adalah proses berbenah diri dalam segala dinamika kehidupan kemanusian dan ketuhanan. Dengan berbenah diri lewat puasa, orang akan mudah kembali kefitrahnya, yaitu menjadi diri sekaligus hamba Allah yang sejati. Bahkan berbenah diri melalui puasa, orang bisa menemukan sifat-sifat Allah dalam kepribadiannya. Rasulullah bersabda: “Carilah sifat-sifat Allah Swt. itu dalam dirimu sendiri”.

Berbenah dari keagungan puasa akan mengantarkan kita menjadi hamba yang sabar dan tenang; tidak mudah curiga, tidak gampang menuding, tidak main hakim sendiri, tidak serampangan bereaksi ‘membesarkan’ hal-hal kecil, tidak mampu untuk melakukan segala kejahatan, tidak cepat mementahkan perilaku sosial kemanusiaan sesama, tidak tendensius menafsirkan tradisi dan ajaran agama lain, atau “tidak” terhadap segala hal yang negatif dan cenderung destruktif. Apalagi kalau diwujudkan dengan anarkhisme, sungguh tidak terpuji. Maka pencerahan secara kultural, pilihan strategis yang mendesak ditransformasikan.

Dengan ini, puasa adalah jalan damai yang dapat meredakan segala egoisme dan lebih mengedepankan nilai-nilai sosial. Di dalam puasa perkara menahan rasa lapar dan haus merupakan hal biasa, tetapi yang primordial dari puasa adalah bagaimana kita mampu menyadari dan mengangkat sensitifisme diri akan hak dan kewajiban kemanusian. Selain penyucian diri yang terus diasah juga bagaimana kita tanggap terhadap sesama sebagai makhluk sosial. Artinya puasa merupakan ibadah penyadaran diri dan eksistensi seorang hamba Allah Swt. Dan pada akhirnya perbedaan pun akan terasa sangat indah, bukan sesuatu yang harus diresahkan apalagi dirisaukan.

Percekcokan, konflik horizontal, diskriminasi religius, dan berbagai fakta sejenisnya, disadari atau tidak, ikut berperan atas retaknya sosial, kemanusiaan dan keberagamaan. Ini bukti bahwa pola kehidupan kita masih belum diwarnai kesabaran dan ketenangan. Adapun kesabaran dan ketenangan hanya dapat ditempa melalui puasa. Puasalah yang akan melatih kita untuk selalu tenang dan sabar.

Pada bulan Ramadlan, umat Islam dengan ragam mazhab di dalamnya, senantiasa mendengungkan agar setiap elemen masyarakat bisa menjaga kesucian Ramadlan. Bahkan, sweping besar-besaran oleh sebagian kelompok umat Islam, sering dilakukan hanya karena pemaknaan atau kehawatiran berlebihan yang kurang berdasar. Sehingga, agama selalu diidentikkan dengan kekerasan dalam berbagai variannya dan tanpa ditawari solusi terbaik secara sosial. Dengan kata lain, egoisme religius masih menjalar tanpa sedikit pun disadari sebagai faktor penghambat kebersamaan dalam hidup dan jalan kemenangan hakiki. Seharusnya, apapun keragaman masyarakat kita dapat disikapi dengan arif dan saling menghormati. Jangan sampai kita menuntut orang lain menghormati kita tetapi kita sendiri tidak mau menghormatinya.

Dangkalnya dalam memahami puasa Ramadlan akan melahirkan pemikiran yang pincang dan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan secara sosial. Bahkan juga, secara individul, banyak sekarang kejahatan terjadi di akhir bulan Ramadlan, seperti penipuan dikerumunan para pemudik dan sejenisnya. Para pelaku kejahatan itu beralasan tidak punya uang untuk menyambut Idul Fitri, dan sudah pasti mereka tidak memahami puasa secara hakiki. Padahal, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum.” Sabda Nabi juga: “Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan kebaikan, dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya dari amal-amal ibadah lainnya”.

Dengan itu, Puasa Adalah jalan, dan diri kita-lah yang mampu memanfaatkan jalan tersebut menuju ketenangan dan kesabaran sehingga mendapatkan kemenangan dan kefitrian. Sedangkan kefitrian tanpa ketenangan dan kesabaran dalam menjalani ibadah kepada Allah Swt. tidak akan didapatinya. Dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya engkau mempunyai dua tabiat dan kelakuan yang disukai oleh Allah Swt. yaitu sabar dan ketenangan”.

Benarkah kita sudah sabar menjalankan segala kewajiban kepada Allah Swt.? Sudah pantaskah kita menerima kemenangan dan fitrinya diri sebagai hamba Allah Swt. sehingga kedamaian didapati dalam hidup kita?

Posted in Catatan Sederhana | Dengan kaitkata: , , | Leave a Comment »