Archive for Juli 20th, 2009
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Aku mengenangmu wahai para kekasih
Dari layar sejarah aku telan
Kesetiaan, kesabaran dan cinta
Yang kau bungkus dengan rindu
‘getarku mungkin tak sampai’
Berapakali aku bercakkan tintamu
Pada buku harian
Ternyata selalu percuma saja
Dosa dan doa kini mulai mengkabur
Oleh keinginan dan hasrat yang meraja
Mampirlah! Mampirlah!
Wahai para kekasih
Peluklah jiwaku yang menggigil
Di tengah gelombang hidupku!
Atau dunia ini tetap aku biarkan
Wahai para kekasih
Mampirlah!
Di sini semakin tak terarah
Jejak yang harus diikuti
Dan yang harus dihindari
Posted in Antologi Seranum Senyum | Dengan kaitkata: Cinta, Kekasih, rindu, sejarah | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Ibu, kabarkan aku tentang perempuan
Di sini aku tak mengerti sama sekali
Lautanmu luas kutahu
Dan aku selalu ingin menjadi ombaknya
Menjadi pantainya
Atau paling tidak izinkan aku menikmati birunya
Ibu, kabarkan aku tentang perempuan
Ajarkan aku tentang rindu dan cinta
Kini aku di seberang rumahmu
Aku tak punya perahu untuk kembali
Aku tak mampu berenang kepulaumu
Tapi, izinkan aku mengasah
Mengecup air matamu yang bening
Ibu, kabarkan aku tentang perempuan
-Februari “07
Ciseda, Cimalaka
Posted in Antologi Seranum Senyum | Dengan kaitkata: bening, kabar | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Izinkan aku memayungimu di tengah gerimis hujan
Dan mari mengunyah labirin rasa setelah itu!
Perempuan, kenanglah kenang
Biar kita saling mengenal
Dan lihatlah, langit sebentar lagi cerah
Izinkan aku…
Mari bersama!
Perempuan, senyummu merapih
Kembang gairah sajakku
Dan aku melupa pada yang lalu
-06 Maret
Ciseda, Cimalaka
Posted in Antologi Seranum Senyum | Dengan kaitkata: Gerimis, Hujan, Labirin, Sajakku, Senyummu | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Pulau yang panas, kulitku berkerak keringat garam. Mungkin butuh adaptasi. Mungkin juga karena tubuhku tak suka dengan hal yang panas-panas. Di ruangan persegi panjang, konon aula persidangan, kursi-kursi berjejer sejajar seperti militer yang lagi berbaris untuk berangkat perang. Dan aku, berada di bagian tengah. Di depan, mereka gagah melontarkan idealisme suatu gerakan yang akan kami perjuangkan. Serupa harimau yang berancang-ancang menyantap daging sapi yang sedang melintas di wilayahnya. Oh..aku mengerti, mereka kelaparan dan tampil sebagai pahlawan.
Beberapa menit kemudian, di barisan bagian depan kanan, ada yang mengangkat senjatanya. Lalu ia berteriak sekeras mungkin. “Jangan terlalu lama, kami sudah tidak tahan untuk memulainya”. Mereka yang di depan hanya menganggukkan kepala. Di barisan depan kiri tiba-tiba berdiri, dadanya kekar dan membusung, dan ia juga tak mau kalah. “Sekarang sudah waktunya, jangan ditunda-tunda lagi”. Baca entri selengkapnya »
Posted in Catatan Sederhana | Dengan kaitkata: berbisik, Idealisme, Menggugah, Panas, senja | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Perempuan…..
Kelak, bila biduk kecil kita bertubrukan di antara benteng-benteng karang kehidupan, bila harapan serupa kehampaan dan kesia-siaan, bila mimpi telah berganti kenyataan yang pahit, aku ingin kau tetap melantunkan kesahduanmu di sampingku. Dan kita akan tetap tersenyum walaupun berkisah di garis-garis hujan. Dimana suaramu menggetarkan malam, meluluhkan segala. Dimana aku tidak mampu menekan gelegar rindu. Dan segala kepelikan termaknai.
Posted in Catatan Sederhana | Dengan kaitkata: biduk, geletar, luluh, suara | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Ada gaduh yang melepuh angkuh
Seperti ringkihku pada malam
Menyayat sunyi
Dari setangkup emosi menggumpal di dada
Aku tak bisa lari
Masikah nalarmu tak meletih
Saat bahasa tak bisa kau sibak
Saat langkah tak menuju satu arah
Adalah makna tak mampu disapa
Masihkah di antara kita ada jelma satu rasa?
06-02-‘06
Posted in Puisi | Dengan kaitkata: jelma, langkah, makna, meletih | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Begitu larut air mata ini
Nafas yang dirampas oleh ketajaman matamu
Bumi kenestaanmu
Adakah angin yang bisa aku hirup
Seperti saat engkau duduk di kursi goyang ini
Adakah setetes air yang tersisa untukku
Selain amanat laknatmu
Lalu aku kan melihat siapa
Kalau mahkota ini telah mendebu
Ada yang berkata, “menangislah engkau,
Biar air matamu menjadi mata air”
Entah sampai kapan?
Aku ingin berteriak
Tapi tenggorokanku sesak dan tak berserat
Udara ini, tanah ini, rumah kita terjarah
Oleh setiap mata yang mencatat sejarah
Mereka bilang, “menangislah engkau,
Ia meninggalkanmu bukan melupakanmu”
Entah bagaimana lagi aku meraih cinta kita?
04-02-‘06
Posted in Puisi | Dengan kaitkata: Berserat, Laknat, Larut, Tajam | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Aku hanya ingin melihat pagi
Menatap matahari dikeranda cahaya hati
Biar nafas memati
Awan masih menyimpan doaku
Esok kan hujan beribu harap, cita dan cinta
Lepas…!
Lepaskan aku…
03-02-‘06
Posted in Puisi | Dengan kaitkata: cahaya, Hati, Matahari, Pagi | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Perempuan, bagaimana kabarmu?
Sabda-sabda sejarah menjerit luka lukamu
Para lelaki bermain dadu nafsu
Tangisan bayimu menjelma doa
Dan air matanya menelan cahaya
Jalan di antara aku dan kamu searah
Menekan kesedihan yang memanjang
Sepanjang abad-abad yang angkuh
Terus memuntah serapah
Bahwa ada ketidakadilan bagimu
Kini, bangkitlah oh…..perempuan
Dunia bukan hanya untuk Adam semata
*
Perempuan, aku merindukan tajammu
Sekerat harapan keharmonisan
Bukan tentang keras dan lembut
Entah kenapa para lelaki
Membakar bantal-bantal yang telah ia nodai
Dan menggurui jejakmu
Dengan menelan darah seperti serigala
Ia merasa menang dan tak mau dibilang kalah
Padahal dalam kerasnya lemah
Tak memiliki apapun
Kecuali angkuhnya yang menafsu
**
Perempuan, aku belum selesai
Membalut luka luka yang membengkak
-Maret “07
Ciseda, Citimun
Posted in Antologi Seranum Senyum | Dengan kaitkata: Bengkak, Darah, Luka-luka, Nafsu, Nodai, Perempuan, Sabda-Sabda | Leave a Comment »
Posted by metzz pada Juli 20, 2009
Rindu, atau dendamkah
Setelah kekasih itu pergi
Tanpa permisih?
Dalam diri ia tinggalkan air mata
Kini menggugus seribu tanya
Sedang benak semakin membara
Karena ada janji yang tak terpenuhi
(Dan harapan itu.
Antologi Seranum Senyum
Posted in Antologi Seranum Senyum | Dengan kaitkata: Air Mata, Dendam, Janji | Leave a Comment »